Sabtu, 05 Mei 2012

LAPORAN PENDAHULUAN IBU HAMIL DENGAN TB PARU

LAPORAN PENDAHULUAN I. DEFINISI • Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M. Tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrakolumnar. Diperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi kuman M. Tuberculosis. • Tuberkulosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat pula menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe. (Irman Somantri. 2007 : 59) • Karena prevalensi TBC paru-paru di Indonesia masih tinggi, dapat diambil asumsi bahwa frekuensinya pada wanita akan tinggi. Diperkirakan 1 % wanita hamil menderita TBC paru-paru. Menurut Prawirohardjo & Soemarto (1954), frekuensi wanita hamil yang menderita TBC paru-paru di Indonesia yaitu 1,6%. di negara kurang makmur dan negara berkembang, frekuensinya lebih tinggi. • Penyakit ini dapat dijumpai dalam keadaan aktif dan tenang. Penyakit paru – paru yang dalam keadaan aktif, akan menimbulkan masalah bagi ibu, bayi dan orang-orang sekelilingnya. Jadi, sebenarnya adalah masalah sosial. Pengaruh TBC paru-paru terhadap kehamilan dan sebaliknya sedikit banyak ada. ( Rustam Mochtar. 1998 : 154 ) II. ETIOLOGI Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. sebagian besar komponen M. tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan factor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, m. tuberculosis senang tinggal di apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberculosis. (Irman somantri. 2007 : 59) III. PATOFISIOLOGI Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil M. tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan M. tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru (lobus atas). Selanjutnya, system kekebalan tubuh memberi respon dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrophil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri. Interaksi antara M. tuberculosis dan system kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membentulk sebuah masa jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup yang mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi masa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari masa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang penampakannya seperti keju. Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen kemudian bakteri menjadi non aktif. Setelah infeksi awal, jika respon system imun tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi tulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada ksus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghjasilkan necrotizing kaseosa di dalam bronkus. Tubercle yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang. Mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia membentuk tubercle dan seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan bacillus di fagosit (berkembang biak ) di dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tubercle epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epitel dan fibroblast akan menimbuilkan respon berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel. (Irman Somantri. 2007 : 59-60) Infeksi ditularkan melalui inhalasi Mycobacterium tuberculosis, yang memicu suatu reaksi granulomatosa di paru. Pada lebih dari 90% pasien, infeksi dapat dikendalikan dan menjadi dorman untuk jangka waktu yang lama. Pada beberapa pasien, terutama yang mengalami imunosupresi atau mengidap penyakit lain, tuberkulosis mengalami reaktivasi dan menimbulkan gejala klinis. Gambaran klinis biasanya berupa batuk dengan sputum mi9nimal, demam ringan, hemoptisis, dan penurunan berat. Berbagai pola infiltrat tampak pada foto toraks, dan mungkin juga terdapat kavitasi atau limfadenopati mediastinum. Basil tahan asam dijumpai pada apusan sputum pada sekitar 2/3 dari pasien yang biakannya positif. Tuberkulosis ekstraparu dapat timbul di semua organ, dan hampir 40% pasien positif HIV mengalami penyakit diseminata. (F. Gary Cunningham. 2005 : 1387) IV. TANDA DAN GEJALA 1. batuk menahun, 2. hemaptoe (batuk darah), 3. kurus kering. (Rustam Moechtar.1998 : 154 – 156) Gejala klinik infeksi tuberkulosis adalah batuk dengan sputum minimal, hemoptisis, subfebris, penurunan berat badan, dan pada pemeriksaan foto toraks ditemukan gambaran ilfitrat, kavitas, dan limfadenopati mediastinum. Pemeriksaan radiologik harus memakai pelindung timah pada abdomen, sehingga bahaya radiasi dapat diminimalisasi. Pada trimester I hindari pemeriksaan foto toraks karena efek radiasi yang sedikitpun masih berdampak negatif pada sel-sel muda janin. (sarwono prawirohardjo.2008 : 800-807) V. KLASIFIKASI Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktorn determinan untuk menetapkan strategi terapi. Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut: A. TB Paru BTA Positif dengan kriteria: 1. Dengan atau tanpa gejala klinik 2. BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali. 3. Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru. B. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria: 1. Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif 2. BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif. C. Bekas TB Paru dengan kriteria: a. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif b. Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru. c. Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak berubah. d. Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung). (www.jarumsuntik.com) VI. PENANGANAN Sebelum hamil perlu diberi konseling mengenai pengaruh kehamilan dan TBC, serta pengobatan.adanya TBC tidak merupakan indikasi untuk melakukan abortus. Pengobatan TBC dengan isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid tidak merupakan kontraindikasi pada kehamilan. Pengobatan TBC dengan amino-glikosida(streptomisin) merupakan kontraindikasi pada kehamilan karena dapat menyebabkan ototoksik pada janin. Pengobatan TBC dalam kehamilan menurut rekombinasi WHO adalah dengan pemberian regimen kombinasi isoniazid, rifampisisn, etambutol selama 9 bulan. 16Saat persalinan mungkin diperlukan pemberian oksigen yang adekuat dan cara persalinan sesuai indikasi obstetrik. Pemakaian masker dan ruangan isolasi diperlukan untuk mencegah penularan. Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu mendapat obat anti TBC. Perlu divaksinasi BCG. (sarwono prawirohardjo.2008 : 800-807) 1. Dalam kehamilan • Ibu hamil dengan proses aktif, hendaknya jangan dicampurkan dengan waniyta hamil lainnya pada pemeriksaan antenatal. • Untuk diagnosis pasti dan pengobatan selalu bekerjasama dengan ahli paru-paru. • Penderita dengan proses aktif, apalagi dengan batuk darah, sebaiknya dirawatv di rumah sakit, dalam kamar isolasi. Gunanya untuk mencegah penularan, untuk menjamin istirahat dan makanan yang cukup, serta pengobatan yang intensif dan teratur. • Obat-obatan : INH, PAS, rifadin dan streptomisin. • TBC paru-paru tidak merupakan indikasi untuk abortus buatan dean terminasi kehamilan. 2. Dalam persalinan • Bila proses tenang, persalian akan berjalan seperti biasa dan tidak perlu tindakan apa-apa. • Bila proses aktif, kala I dan II diusahakan seringan mungkin. Pada kala I, ibu hamil diberi obat-obat penenang dan analgetika dosis rendah. Kala II diperpendek dengan ekstrasi vakum/forceps. • Bila ada indikasi obstetrik untuk seksio sesarea, hal ini dilakukan bekerja sama dengan ahli anastesi untuk memperoleh anastesi mana yang terbaik. 3. Dalam masa nifas : • Usahakan jangan terjadi perdarahan yang banyak, diberi uterus tonika dan koagulansia. • Usahakan mencegah terjadinya infeksi tambahan dengan memberikan antibiotika yang cukup. • Bila ada anemia sebaiknya diberikan transfusi darah, agar daya tahan ibu lebih kuat terhadap infeksi sekunder. • Ibu dianjurkan segera memakai kontrasepsi atau bila jumlah anak sudah cukup, segera dilakukan tubektomi. 4. Perawatan bayi Biasanya bayi akan ditulari ibunya setelah kelahiran, dan TBC bawaan (kongenital) sangat jarang. • Bila ibu dalam proses TBC aktif,  Secepatnya bayi diberikan BCG  Bayi segera dipisah dari ibunya selama 6-8 minggu.  Bila uji mantoux sudah positif pada bayi, barulah bayi barulah bayi dapat ditemukan lagi dengan ibunya. • Menyusukan bayi, pada proses aktif, dilarang karena kontak langsung dari mulut ibu pada bayi. • Dapat diberikan anti TBC profilaksis pada bayi yaitu INH : nig/kg berat badan/hari. 5. TBC paru-paru dan alat reproduksi : • TBC paru-paru dapat bersamaan dengan TBC alat genetalia. Wiknjosastro H. (1959) menemukan pada 15 wanita penderita TBC genetalis 40% sarang primernya terdapat di paru-paru. • TBC genetalis dapat menyebabkan :  Kemandulan  Bila terjadi kehamilan, hasil konsepsi sering berakhir dengan abortus, kehamilan ektopik terganggu dan partus prematurus.  TBC genitalis yang sudah tenang dan pulih,, dapat kambuh lagi setelah abortus dan persalinan. (Rustam Moechtar.1998 : 154 – 156) Untuk pasien tidak hamil yang positif tuberkulin dan berusia kurang dari 35 tahun serta tidak memperlihatkan penyakit aktif, diberikan isoniazid 300 mg per hari selama 1 tahun. Isoniazid adalah obat kategori C yang dianggap aman bagi wanita hamil. Namun pada wanita hamil yang negatif HIV, sebagian penulis menganjurkan bahwa terapi ditunda sampai setelah melahirkan. Karena mungkin terjadi peningkatan hepatitis akibat isonizid pada wanita pascapartum, sebagian penulis menganjurkan bahwa terapi ditunda sampai 3-6 bulan pascapartum. Untuk mencegah infeksi aktif, metode pascapartum tidak selektif terapi antepartum. Terdapat pengecualian untuk penundaan terapi pada wanita hamil. Orang yang diketahui baru mengalami perubahan hasil uji kulit (convertor) diberi terapi karena insiden infeksi aktif adalah 3 persen dalam tahun pertama. Wanita yang uji kulitnya positif dan terpajan ke inbfeksi aktif diberi terapi karena insiden infeksi adalah 0,5 persen per tahun. Akhirnya wanita yang positif HIV diberi terapi karena risiko tahuna untuk penyakit adalah 8%. Pilihan lain adalah menunda terapi sampai setelah 12 minggu padea p[ara wanita asimtomatik ini. Toksisitas isoniazid antara lain adalah hepatitis, yang lebih sering terjadi pada pasien berusia kurang dari 35 tahun. Walaupun enzim-enzim hati menunjukkan bahwa 10 sampai 20 persen pasien mengalami peningkatan transien, terapi tidak dihentikan kecuali apabila peningkatannya lima kali daripada normal. Karena munculnya resistensi obat, Center of Desease Control (1993)sekarang menganjurkan regimen empat obat untuk terapi empiris awal pada pasien tidak hamil dengan tuberkulosis simtomatik. Obat-obat tersebut adalah isoniazid, rifampin, dan pirazinamid disertai etambutol atau streptomisin yang diberikan sampai pemeriksaan sensitivitas selesai. Uji sensitivitas obat dilakukan terhadap semua isolat pertama. Untungnua, sebagian besar obat tuberkulostatik lini-pertama tampaknya tidak mengganggu janin. Salah satu pengecualian adalah streptomisin, yang dapat menyebabkan tuli kongenital. Selain itu, keamanan pirazinamid yang diberikan pada kehamilan muda belum diketahui pasti. Center of Disease Control (1993) menganjurkan bahwa regimen per oral untuk wanita hamil harus mencakup : 1. Isoniazid, 5 mg/kg, jangan melebihi 300 mg/hari, bersama dengan piridoksin, 50 mg per hari. 2. Rifampin, 10 mg/kg/hari, jangan melebihi 600 mg per hari. 3. Etambutol, 5 sampai 25 mg/kg/hari, jangfan melebihi 2,5 g/hari. Obat ibni diberikan paling sedikit selama 9 bulan. Untuk wanita yang terinfeksi HIV, pemakaian rifampin atau rifdabutin mungkin dikontraindikasikan apabila ia juga mendapat inhibitor nucloside reverse transcriptase tertentu. Apabila terjadi resistensi terhadap obat-obat ini, dipertimbangkan dengan terapi dengan pirazinamid. (F. Gary Cunningham. 2005 : 1388 - 1389) MANAGEMENT OF LABOUR A vaginal delivery is usual unless there are obstetrics indications for a lower segment caesarean section. The first stage of labour is managed in usual way, epidural anaesthesia being a suitable method of pain relief. In the second stage an elective forceps delivery is usually performed to prevent undue fatigue. Blood loss must be kept to a minimum, so an intravenous injections of ergometrine 0.25 – 0.5 mg is given with the birth of the anterior shoulder. Should and anaesthetic be necessary, the equipment must be throughly cleaned and the face mask and tubing sterilized after use. (Mayes Midwifery. 1993 : 301 ) Terjemahan : Sebuah pengeluaran cairan vagina biasa kecuali ada indikasi kebidanan untuk bagian segmen bawah rahim. Tahap pertama dari kerja dikelola dengan cara biasa, epidural anestesi menjadi metode yang cocok penghilang nyeri. Pada tahap kedua merupakan pilihan pengiriman forsep biasanya dilakukan untuk mencegah kelelahan yang tidak semestinya. Kehilangan darah harus diminimalkan, sehingga sebuah suntikan intravena ergometrine 0,25-0,5 mg diberikan dengan kelahiran bahu anterior. Harus dan anestesi diperlukan, peralatan harus dibersihkan secara menyeluruh dan masker wajah dan tubing disterilkan setelah digunakan. DAFTAR PUSTAKA Cuningham, F.Gary.2005.Obtetri William. Jakarta. EGC Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran 1. Jakarta. Media Aesculapsus. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta, EGC Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jkarta. PT.Bina Pustaka Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta. Salemba Medika http://jarumsuntik.com/asuhan-keperawatan-dengan-tb-paru/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar